Sebuah Perjalanan Menuju Mt. 1762 Mdpl
Foto bersama Kintan (tengah) dan Luluk (kanan) |
“Lukk ndaki gunung yukk” Pintaku kepada salah satu temanku
“hayukk, mau kapan?”
“Secepatnya lukk, minggu depan gimana?”
“Bolehh, boleh”
“Oke agendakan yaa, mulai sekarang kita harus rajin olahraga”
“hahahha. Okee siapp”
Luluk, dia salah satu temanku yang siap diajak kemana saja dan kapan aja. Terutama agenda naik gunung ini. Mungkin awalnya aku ragu mengajak dia bahkan sejujurnya aku takut, karna menurutku dia bukan wanita yang tangguh a.k.a kuat untuk bisa melakukan pendakian gunung. Karna kami merupakan mahasiswi yang sangat newbie dalam perjalanan ini. Aku pun mengajak salah satu teman lagi yang bernama Kintan. Temanku yang satu ini sudah tidak diragukan kekuatannya, walaupun berbadan kecil tetapi dia sudah sering mendaki beberapa gunung. Jadi setidaknya ada orang lebih berpengalaman dalam hal ini.
H-3 hari perjalanan dan rencananya perjalanan ini akan dilakukan bersama kelima temanku. Seperti biasa, kami pun menyusun sebuah rencana dan akomodasi. Setelah H-2 perjalanan, beberapa temanku ada yang mengundurkan diri, entah karna berbeda rencana ataupun adanya beberapa kendala. Dan setelah H-1 perjalanan tersisa ke dua temanku, luluk dan kintan. Bagiku, sedikit apapun temanku nanti itu bukan menjadi halangan. Yang pasti, aku ingin perjalanan ini tetap terlaksana apapun kendalanya dan berapapun orangnya.
Pada malam harinya, Kintan mengabari bahwa ada salah satu temannya yang ingin bergabung. Pada malam itu kami pun sepakat untuk mengadakan perjalanan bersama tiga orang (Kintan, Luluk dan Mas Fathin). Sebenarnya persiapannya cukup mudah, karna banyak teman baik yang bersedia meminjamkan peralatan mendaki gunung, mulai dari sleeping bag hingga ransel. Dengan bermodalkan makanan, sleeping bag, baju ganti aku pun memulai perjalanan ini bersama ketiga temanku.
Kami pun berangkat pada hari Jum’at, 30 November 2018 pada pukul 14.20 WIB. Perjalanan cukup menyenangkan setelah memasuki daerah Sawit, udara yang sejuk dan hamparan pegunungan serta pertanian di sepanjang jalan yang memanjakan mata. Pada pukul 16.19 WIB tibalah kami di gerbang pendakian Gunung Andong. Sebelum mulai mendaki, kami pun mengabadikan moment terlebih dahulu dan tentu saja berdoa bersama semoga perjalanan hari ini lancar dengan cuaca yang mendukung.
Perjalanan pendakian pertama disambut dengan anak tangga yang cukup tinggi serta menguras tenaga. Sejujurnya aku sedikit menyerah dan memikirkan kemungkinan buruk karna aku tau, aku juga tidak cukup tangguh. “Capek ya? Gapapa ini pemanasan, nanti kalo udah lama jadi biasa kok. Kaya badannya kaget gitu lho” kata Mas Fathin dibelakang barisan seakan mengetahui isi hati ketiga wanita didepannya. Sosok Mas Fathin yang sudah terbiasa dengan perjalanan semacam ini membuatku sedikit lega, banyak hal yang dia bantu. Terutama ketika ketiga wanita ini dalam kondisi melemah dan ketidak pandaian dalam hal bertahan hidup di alam. Perjalanan ini disusun dengan baris yang yang tepat, Luluk memimpin didepan, aku pada barisan kedua, Kintan pada barisan ketiga dan Mas Fathin pada baris akhir.
Foto saat perjalanan pendakian |
Langit menunjukan keramahannya, walaupun diawal perjalanan menunjukan cuaca yang kurang mendukung, tetapi dengan seizin Allah hari ini cerah. Rasanya Allah sepertinya menjauhkan awan mendung untuk mepermudah perjalanan kami hari ini. “Luluk… pelan-pelan dong” ungkapku sedikit kesal karna dia jauh berjalanan didepanku. Sungguh, sejak hari itu aku menyadari bahwa, apa yang terlihat tidak selamanya benar. Contohnya temanku ini, dia berjalanan lebih cepat dan lebih tangguh ketika mendaki gunung. Berbeda ketika kami jogging di GSP (Graha Sabha Pramana) karna dia hanya sanggup tiga putaran dan aku melebihinya. Bahkan tidak hanya satu atau dua kali jogging. “Ah, aku memang terlalu sombong selama ini” ungkapku dalam hati. Luluk tetap memimpin didepan dan entah kenapa dia selalu menjadi pacuan semangatku disetiap perjalanan.
Tidak terasa senja sudah mulai terlihat, kami pun sudah melewati pos ke-2 yang artinya sebentar lagi akan segera tiba dipuncak. Matahari sudah mulai turun, gelap sudah menyelimuti perjalanan kami. Aku pun menikmati setiap perjalanan, perjalanan yang ditemani dengan tawa dan berbagai curhatan dadakan. Sebenarnya kami adalah orang-orang yang sedang bernasib sama, sama-sama pernah dikecewakan atau bahkan memutuskan pergi karna tidak sejalan. Sekarang aku tau, kenapa banyak orang memilih mendaki gunung untuk menyembuhkan luka hati, ntah itu karna masalah cinta ataupun masalah perjalanan kehidupan. Sekarang aku tau, kenapa gunung menjadi tempat terbaik. Kata lulu “Kita akan mengetahui bagaimana orang tersebut ketika kita melakukan perjalanan pendakian bersama” begitu katanya. Akupun setuju.
Malam itu perjalanan hanya ditemani dengan sebuah cahaya dari kedua lampu senter. Kakiku rasanya sudah hampir tidak kuat lagi untuk berjalan. Jalan yang semakin menanjak dan dingin yang semakin menusuk hingga mamasuki ketiga lapis bajuku. Membuatku ingin terus bergerak menuju puncak, membayangkan didalam tenda dengan seduhan minuman hangat. Tapi sayangnya, kakiku semakin keram. Rasanya mereka berdemo memintaku untuk berhenti saja dan melanjutkan beberapa jam lagi. Aku pun tertinggal dibarisan terakhir, “Ayo bil, bentar lagi sampe kok” seru kintan sembari menurunkan langkah kakinya menuntunku untuk terus berjalan naik dan Mas Fathin yang terus menjaga agar ketiga wanitanya tetap dalam kondisi baik-baik saja.
Sekitar pukul 19.15 WIB kami pun akhirnya sampai dipuncak Gunung Andong dengan ketinggian 1762 Mdpl. Perjalanan yang lumayan memakan waktu untuk mereka yang sudah sering mendaki gunung, tetapi tidak untuk kedua wanita newbie yang sedang belajar menaklukkan ketakutannya. Malam ini kami sudah berada dipuncak, dengan beberapa drama disetiap perjalanannya dan moment disetiap detiknya. Kami pun bergegas mencari tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda, bertegur sapa dengan orang-orang yang sudah sedari tadi sampai dan tentu saja berpacu dengan angin. Aku dan Lulu betugas membawa senter, sedangkan Mas Fathin dan Kintan bertugas menidirikan tenda. Kami pun juga diajari bagaimana mendirikan sebuah tenda, berbagi tugas dan menyelesaikannya bersama.
Angin semakin kencang, kami pun segera menuju tenda untuk mencari kehangatan. Membuat makanan dan minuman hangat untuk mengisi kekosongan perut. Benar kata orang, apapun makanannya jika dimakan bersama-sama menjadi nikmat. Buatku, bukan makanannya yang nikmat, tapi momennyalah yang membuatku menikmati makanan. Aku tidak akan pernah melupakan momen ini dan aku ingin terus menikmati momen seperti ini, mungkin juga dengan kamu.
“Trus habis ini kita ngapain tan?” Tanya lulu dengan wajah polosnya
“Ya kalo mau keluar boleh, tapi dingin…” Jawab kintan sembari tertawa mengetahui kepolosan Lulu
“Aku mau tidur aja yaa, biar cepet pagi. Cepet liat sunrise” Jawabku sembari membaringkan badan
Angin yang begitu kencang membuat kami memilih untuk berdiam diri ditenda. Ditemani suara angin yang mengguncang tenda, kehangatan balutan sleeping bag dan tentu saja, sepenggal cerita kehidupan dari kedua temanku.
Pagi itu kami hampir tertinggal menikmati moment, moment yang kuidam-idamkan selama ini. Akupun bergegas keluar tenda, disambut dengan udara dingin yang menusuk sekujur tubuhku, akupun terus bergerak untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. MasyaAllah… rasanya seperti mimpi. Melihat gemerlap lampu-lampu diatas ketinggian, gunung-gunung yang menjulang dan tentu saja, sunrise!
Matahari semakin menjulang tinggi. Semakin tinggi, hingga akhirnya aku pun bisa melihat berbagai keindahan dengan hamparan gunung-gunung dan keindahan pemandangan persawahan. Disana aku bisa melihat Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro dan Sumbing. Sepertinya gunung-gunung tersebut akan menjadi tujuanku selanjutnya. Doakan ya?
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 08.20 WIB. Kami pun bergegas menuju tenda untuk sarapan bersama. Seperti biasa, kami pun berbagi tugas. Aku dan Luluk bertugas menggoreng tahu bakso, sosis dan kentang. Mas Fathin dan Kintan bertugas untuk menyalakan api dan membuat minuman hangat. Berbagi tugas dan menyelesaikannya bersama lagi. Dan Lagi-lagi aku jatuh cinta dengan momen seperti ini. Momen dimana tidak hanya berbagi makanan, tetapi juga suka dan duka. Mas Fathin bercerita tentang kegagalan cintanya, Kintan dengan kenangan bersama mantan kekasihnya dan Luluk dengan harapan bersama lelaki idamannya.
Suasana saat makan bersama di tenda dengan pemandangan gunung Merbabu |
Setelah selesai sarapan, kami pun bersiap untuk membereskan tenda. Setelah semuanya selesai, kami pun berdoa bersama. Sebelum memulai perjalan pulang, Mas Fathin memberikan tips and trick untuk perjalanan turun.
Tanah yang licin membuat kami harus ekstra hati-hati untuk memilih tempat pijakan. Hal yang wajar jika sekali dua kali terjatuh, karna aku juga tidak menggunakan sepatu yang ramah untuk pendakian gunung. Tapi takapa, setidaknya ini menjadi bagian dari pengalaman. Terjatuh, bangkit dan menjadi ekstra hati-hati untuk mengambil langkah. Begitu siklus perjalanannya. Hingga tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 10.55 WIB dan sampailah kembali kami dipos keberangkatan.
Sebelum menuju tempat parkir, aku pun kembali memandang Gunung Andong. Masih tidak percaya aku bisa melakukan perjalanan tersebut. Sebenarnya selama ini aku tidak terlalu tertarik, tapi ntah kenapa rasa penasaranku baru muncul setelah dua tahun lamanya tertanam. Memang, Allah maha membolak-balikan hati seseorang. Dengan waktu yang pas serta ketiga teman istimewa yang menemani perjalanan pertamaku. Mulai sekarang, aku akan memasukan perjalanan pendakian kedalam wishlist ku disetiap tahunnya dan dengan seizin Allah, barangkali kamu bisa menemaniku dalam perjalanan pendakian selanjutnya.
Yogyakarta
Senin, 3 Desember 2018
Komentar
Posting Komentar